Bandung Merawat Ingatan #2: Melawan Politik Ingatan

Nah, setelah pemutaran film, tiba acara diskusi dengan tiga narasumber bernama Herry Sutresna (Ucok Homicide), Zen RS, dan Aldo Fernando Nasir. Ditemani angin sepoi-sepoi Bandung dan desahan daun-daun pohon yang menaungi para peserta acara, ketiga narasumber itu memberikan berbagai ucapan mencerahkan yang menurutku keren banget.
img20160909210104
Munir itu dibunuh dua kali, kata seorang narasumber. Pertama dengan cara diracun dalam perjalanan ke Amsterdam, dan kedua dengan cara ingin dilupakan. Bapak presiden SBY tidak mau mengumumkan hasil usutan TPF, padahal ia satu-satunya yang berwenang mengungkap konspirasi di belakang pembunuhan Munir.

Mengingat Munir seharusnya melampaui sekedar mengenang seorang tokoh, tapi juga sebuah pokok permasalahan. Mengingat Munir tidak boleh sekedar seperti mengelap album tua, namun juga dengan memahami sebuah konteks—yaitu melawan retorika pembangunan. Munir itu kan kerjaannya adalah memperjuangkan rakyat kecil yang digilas dan dikorbankan demi pembangunan negara. Jadi diskursus tentang relokasi yang lagi heboh sekarang-sekarang ini sebenarnya bukan hal yang baru. Memahami kematian Munir membuat kita mengaktualisasi masa lalu, dan dengan itu kita bisa lolos dengan berhala-berhala politik yang selama ini diagung-agungkan masyarakat *smirk.

Semua masalah di Indonesia itu konteksnya adalah menghalangi Orde Baru yang memaksa meluapkan segala hal yang tradisional dan digantikan dengan kemodernan. Munir itu dianggap menghalangi organisme Orde Baru, ia mengadvokasi korban-korban yang ditendang.

“Tidak ada manusia yang tidak takut, tapi Munir berhasil keluar dari rantai ketakutan itu.”

Lalu, ada poin lain yang penting, yaitu tentang “Politik Ingatan” yang dilakukan oleh pemerintah. Ingatan masyarakat sengaja ingin dihapus dan diputarbalikkan dengan tujuan-tujuan tertentu. Contohnya adalah sebuah foto yang memperlihatkan orang-orang PKI yang menjadi korban pembunuhan massal, namun pemerintah mengganti foto itu menjadi seakan-akan orang PKI lah yang membunuh. Foto tersebut ada di buku-buku pelajaran dan diproduksi terus-menerus di setiap generasi. Hal yang sama terjadi dengan laporan TPF Munir yang tak kunjung diumumkan oleh presiden. Laporan itu sengaja dihilangkan, dan dengan itu diharapkan ingatan masyarakat juga hilang.  Serem ya?

Kita pada dasarnya ada di medan pertempuran ingatan, kata salah seorang narasumber. Dan kita harus memutuskan secara merdeka mana yang ingin kita ingat dan yang tidak.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Langkah awal kita sebagai anak muda dalam melanjutkan perjuangan Munir bisa dimulai dari lingkungan sekolah atau universitas. Perlawanan terhadap komersialisme pendidikan, misalnya (eh, tapi aku baru nyadar, aku kan homeschooling, jadi aku tidak punya kewajiban membeli buku, seragam sekolah, dan SPP, haha…) Kita harus mencari cara mengembalikan kampus menjadi tempat menggagas ideologi dan mengakarkan permasalahan sosial yang ada. Kenapa kampus? Karena wilayah di luar kampus itu tidak steril dan bisa digerebek polisi atau TNI (perpus jalanan di Bandung aja digrebek, apalagi pertemuan-pertemuan serius).

Perlawanan mahasiswa pada tahun 98 itu juga tidak terjadi begitu saja, namun adalah akumulasi dari gerakan kecil-kecilan seperti acara diskusi malam itu.

Ada satu poin yang kupikir penting untuk kita semua—hindari yang namanya kecupetan karena itu berbahaya. Kita harus mencoba belajar dikit-dikit tentang politik ekonomi internasional biar bisa mengakarkan segala permasalahan sosial di sekitar kita.

Salah satu narasumber mengatakan, coba sesekali lepas sosmed dan jalan kaki keluar. Lihat permasalahan di sekeliling kita. Ketika kita menemukan, misalnya, perkumuhan, cewe-cewe pelacur, atau pengemis di pinggir jalan, coba jangan lihat semua permasalahan itu terjadi dengan sendirinya. Pera pemilik perumahan kumuh itu tidak membangun rumah-rumah mereka secara tiba-tiba (seperti “Hey! Mari kita bangun rumah kumuh di sini!”) Semua itu pasti ada sejarahnya, dan kita harus selalu aware tentang hal tersebut supaya kita tidak ujug-ujug menyalahkan mereka yang telah lama tinggal dan punya pekerjaan di sana.

Kita tidak perlu menjadi Munir-Munir yang baru, karena semua orang unik dan punya gaya masing-masing dalam memperjuangkan kemanusiaan. Yang kita perlukan adalah menjadi sosok dengan intensitas setinggi Munir.

Selesai

Pembicaraan malam itu sebenarnya berjalan seru, namun kakak moderator tiba-tiba menghentikan acara dengan bilang, “Ada yang minta kita selesai,” dan semua orang tertawa. Awalnya aku bingung maksud dia apa. Namun setelah keluar dari cafe, aku melihat sebuah mobil polisi yang terparkir. Oh, jadi itu maksudnya.

Di luar sembari menunggu Papaku menjemput, aku memikirkan kesan yang kurasakan dalam acara ini. Pertama, aku mabok dengan kepulan asap rokok dari peserta di samping, depan, dan belakangku. Kedua, aku bertanya-tanya, kenapa acara-acara keren kayak gini pesertanya rata-rata terkesan bukan tipikal yang peduli dengan masalah sosial? Ini tuh, benar-benar sebuah fenomena yang ajib dan harus dipecahkan.

Aku sempat terpikir, kisah Munir ini sudah seperti novel thriller yang menggunakan taktik mengagumkan untuk menjatuhkan lawan. Kubuatin novel based on true story pasti seru tuh!

Terakhir, kesanku tentang Munir, he was an extraordinary person—absolutely one of a kind. Setelah bertahun-tahun tak tahu menahu tentang dia (serius, aku tahu cerita lengkap tentang Munir itu baru awal-awal September tahun ini), baru kali ini aku menemukan sosok heroik nasional yang sempat hidup di abad 21 dan meninggal tepat 4 tahun setelah mataku pertama kali terbuka di dunia.  

By the way, tulisanku ini jadi kiri banget ya? Haha… Aku juga kaget sama diriku sendiri 😉

19 tanggapan untuk “Bandung Merawat Ingatan #2: Melawan Politik Ingatan”

  1. […] Kira-kira begitulah poin-poin menarik yang bisa kucatat dalam kedua film dokumenter itu. Secara visual dan editing, aku berpendapat film Cerita Tentang Cak Munir lebih appealing dan on point daripada Bunga Dibakar. Namun selebihnya, dua-duanya sama-sama keren dan mampu menyentuh hati para penonton. Karena ketika film sedang diputar, aku memerhatikan para penonton dan mereka semua terlihat khusyuk. *to be continued. Tulisan selanjutnya klik ini. […]

    Suka

  2. Pertama, aku merasa seperti baca tulisan uni Dina (btw ini pujian hehe), tulisannya enak, bahasanya lugas dan terasa sekali semangatnya. Kedua, ditunggu ya novel tentang Munirnya. 🙂

    Eh ya, film dokumenter buatan Australia itu apa judulnya Kirana?

    Suka

  3. Halo, ulasan kamu bagus sekali, Kirana.
    Tiga pembicara di acara kemarin yaitu Herry Sutresna (Ucok Homicide), Zen RS, dan Aldo Fernando Nasir. Semoga bisa berguna kalau mau memperbarui tulisannya.

    Disukai oleh 1 orang

  4. ah..membaca tulisan ini membuat dadaku bergetar..jiwa perlawananku jadi menggelora kembali. Kirana..aku juga selalu gelisah atas penindasan yang terstruktur ini

    Disukai oleh 1 orang

  5. Mantap jiwa raga, Kirana. Omong-omong kita ini sama-sama kelahiran tahun 2000, tapi kayaknya pengetahuanmu jauh lebih melampaui aku soal ini :D. Terima kasih banyak karena sudah berbagi ilmu dan pengalaman lewat tulisan-tulisanmu, termasuk tulisanmu yang ini 🙂

    Suka

  6. Senang baca tulisannya. Penasaran menunggu eksplorasi lebih lanjut dari dua kesan utamamu itu — kayaknya saya menyetujui dan bisa merasakan yang sama,walaupun tidak hadir :

    “Pertama, aku mabok dengan kepulan asap rokok dari peserta di samping, depan, dan belakangku. Kedua, aku bertanya-tanya, kenapa acara-acara keren kayak gini pesertanya rata-rata terkesan bukan tipikal yang peduli dengan masalah sosial? Ini tuh, benar-benar sebuah fenomena yang ajib dan harus dipecahkan. “

    Suka

    • Iya, aku sudah mengikuti banyak acara-acara berlatar belakang ‘pergerakan’ seperti itu, dan semuanya pasti berisi peserta-peserta yang merokok, kadang tatoan. Suasananya pun seringkali menyeramkan, sehingga aku yang berjilbab seperti ini merasa tidak layak ada di sana haha…

      Suka

Tinggalkan komentar