Food for Thought #7 (end): Untuk apa kita hidup?

Banyak dari kita (bahkan orang yang sudah dewasa) kebingungan tentang tujuan hidup di dunia. Buatku, tujuan hidup itu beda sama cita-cita. Cita-cita itu lebih ke profesi, sedangkan tujuan hidup adalah esensi dan motivasi dalam hidup—sesuatu yang membuat hidup kita lebih bermakna. Kadang ada orang yang sudah sukses, mapan, punya duit banyak, tapi kebingungan apa esensi dari hidupnya, dan dia pun hidup dalam kegundahan. Jadi, buat apa sih kita hidup?

Untuk memahaminya, kita harus tahu apa sifat istimewa kita sebagai manusia, seperti yang dijelaskan oleh Neuro-Semantics. Apa sih, yang membedakan kita dari binatang?

Otak manusia itu dibagi tiga, dan dua diantaranya dinamai dengan jenis binatang. Bagian paling kecil disebut reptilian, fungsinya untuk survival (keberlangsungan hidup). Bagian kedua adalah mamalian, fungsinya untuk merasakan (seperti rasa cinta orangutan kepada anaknya). Bagian ketiga, yang paling besar, adalah Neo-cortex. Fungsinya untuk mencipta dan berkarya. Yang terakhir inilah bagian otak yang istimewa dari manusia dan tidak dimiliki oleh hewan reptil maupun mamalia.

Manusia diberi Tuhan kemampuan untuk berkarya, mencipta, membangun, dan berkontribusi bagi keluarga, teman, masyarakat, perusahaan, lingkungan, bangsa, dan agama. Misi hidup kita adalah berkarya dan berkontribusi. 

Kalau kita hidup hanya pakai perasaan saja (bercinta, baperan, stres mulu), berarti kita sama seperti binatang mamalia. Kalau hidup untuk survive saja (yang penting nyari duit buat makan, buang air, tidur), berarti kita ga ada bedanya sama reptil.

Maka isilah hidup ini dengan karya-karya dan kontribusi. Jadilah manusia dengan nilai manusia, bukan nilai hewani.

Terakhir, bagaimana sih supaya kita bisa hidup bahagia (btw, ini pertanyaan besarku dalam pelatihan Neuro-Semantics)? Well, sebenarnya, kita itu lahir sudah dalam keadaan bahagia. Anak kecil itu pasti bahagia. Tapi, semakin bertambah umur, kita malah menjauhi kemampuan berbahagia itu.

Jadi, gimana caranya kita kembali ke jiwa anak kecil kita? Ya, belajar untuk menjauhi ketidakbahagiaan. Lihat dunia ini dengan ceria, be playful! Hidup itu sebenarnya ringan dan mudah, jangan diseriusin mulu. If you get serious, you get stupid (quote dari Om Prasetya M. Brata).

***

Oke, akhirnya selesai sudah seri Food for Thought di blog ini. Sekedar ngasih tahu, bahwa aku sendiri belum bisa mempraktekkan segala hal yang aku tuliskan ini dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, poin tentang “menerima rasa sakit” (aku suka bangun telat, dan itu karena aku tidak mau menerima rasa malas dan lelah untuk tetap bangun setelah sholat subuh), atau poin tentang “tidak menjadi korban”, atau memahami “persepsi itu bukan realitas”.

Tapi, after all, hidup ini proses. Tidak ada perubahan yang bisa terjadi dalam satu kedipan mata, ya kan? *upaya justifikasi mode on*. Eh tapi, yang penting kita sadar bahwa ada yang salah dalam diri kita, dan tahu bagaimana cara memperbaikinya. Karena, tujuan manusia di dunia itu—selain berkarya dan berkontribusi seperti yang dijelaskan di atas—juga adalah menyempurnakan dirinya, dan itu pasti butuh proses panjang. Yang penting visinya ada dan jelas, tinggal konsisten saja dalam perjalanan ke sana. Pasti nyampe kok.

Sebagai penutup, aku cantumkan sebuah quote yang aku temukan di internet, yang sangat menohok buatku secara personal. Semoga ini akan terus menjadi pengingat buatku supaya bisa menjalani hidup ini dengan lebih bahagia.

With many thanks to my teacher, om Prasetya M. Brata. Semua yang tertulis di sini berkat ikut pelatihan Neurosemantic++

 

7 tanggapan untuk “Food for Thought #7 (end): Untuk apa kita hidup?”

  1. Asik ya topik-topik filosofis dikemas pake bahasa sehari-hari, cobain kuliah Filsafat deh, semua topik yang Kirana tulis ada semua dan lebih dalem lagi eksplorasinya

    Suka

  2. Kirana, makasih banyak ya udah nulisin hasil belajar neurosemantics ya. Jadi reminder yang jleb2 juga buatku alhamdulillaah. Semoga Kirana senantiasa dan semakin sukses bahagia. Aamiin.

    Suka

  3. Sama kayak Iqbal. Menurut dia, manusia itu makin unik (istimewa) ketika mereka makin dekat dan meniru tuhan. “Aku berbuat (mencipta) maka aku ada,” katanya mengkoreksi Descartes. Mantap, kirana.

    Suka

Tinggalkan komentar